Langsung ke konten utama

Tafriq Nikah Karena Suami Hilang (Mafqud) Melalui Perantara Hakim





I.                        PENDAHULUAN
A.                     Latar Belakang
Pernikahan merupakan sebuah rihlah imaniyah berbarakah, yang dimulai dengan akad dan berakhir di syurga disertai dengan sakinah, mawaddah, dan rohmah. Menikah adalah jalan untuk menuju kemuliaan. Menikah merupakan sunnah Nabi SAW., sebagai seorang muslim menikah bertujuan untuk menyempurnakan setengah diennya. Menikah termasuk kebutuhan manusia, dengan menikah seseorang dapat menjaga keturunan dan menjaga kehormatannya.  
Untuk mencapai tujuan pernikahan, setiap pasangan harus memahami hak dan kewajiban masin-masing, yang mana keduanya telah ditetapkan dalam Islam. Karena jika ada hak dan kewajiban yang terabaikan, akan menimbulkan berbagai masalah yang dapat menghadang terwujudnya tujuan pernikahan. Salah satu contoh terabaikannya hak dan kewajiban adalah dengan adanya kasus kepergian suami dengan kurun waktu yang lama hingga tidak diketahui tempat dan keadaannya. Hal ini banyak mengandung tanda tanya dikalangan para istri akan status pernikahannya sampai pada akhirnya para istri melapor kepada hakim.
Berangkat dari sinilah penulis ingin memaparkan tentang “Tafriq Nikah Melalui Perantara Hakim”.
B.                      Rumusan masalah
1.                       Bagaimana tafriq nikah melalui hakim ketika suami hilang?
C.                     Tujuan Penulisan
1.                       Untuk mengetahui tafriq nikah melalui perantara hakim ketika suami hilang.
D.                     Manfaat Penulisan
1.                       Sebagai tambahan ilmu pengetahuan bagi penulis pribadi dan masyarakat.
2.                       Sebagai sumbangan pemikiran bagi MA Hidyaturrahman





II.                     Pembahasan
A.                     Definisi Tafriq, Faskh dan Thalaq
Tafriq secara bahasa merupakan bentuk masdar dari kata  فَرَّقَ – يُفَرِّقُ - فَرْقًا  yang berarti perpecahan atau perpisahan.[1] Ulama’ fiqih berbeda pendapat dalam mengartikan tafriq secara istilah, namun meski demikian pengertiannya secara istilah tidak keluar dari makna bahasa.[2]
Faskh secara etimologi yaitu membatalkan, mencabut, memisahkan, serta menghilangkan.[3] Sedangkan secara terminologi yaitu pembatalan akad dari semenjak asalnya atau pencegahan bagi kelanjutannya, dan tidak dihitung dari jumlah talak.[4]
Thalaq yaitu
B.                      Perbedaan Tafriq dan Talak.
Tafriq berbeda dengan talak. Talak merupakan salah satu jenis tafriq dalam pernikahan. Sebagaimana Imam ‘Alamuddin Al-Kasani menjelaskan bahwa terjadinya tafriq antara suami dan istri sebagian terjadi dengan cara talak, sebagian yang lain terjadi dengan fasakh.[5]
Tafriq akibat keputusan pengadilan sangatlah berbeda dengan talak. Talak terjadi dengan pilihan dan kehendak suami, sedangkan tafriq akibat keputusan pengadilan adalah untuk membuat istri bisa mengakhiri ikatan perkawinannya dengan suaminya secara paksa jika berbagai cara yang bersifat pilihan berupa talak dan khulu’ tidak berhasil.[6] 
C.                     Perbedaan Fasakh dan Talak
Fasakh
Talak
Hak pihak suami istri
Hak mutlak suami[7]
Pembatalan akad dari asalnya atau pencegahan bagi kelanjutannya, dan tidak dihitung dari jumlah talak.[8]
Memutuskan akad setelah talak bain kubro, dan tidak memutus akad pada talak raj’i ketika kembali pada saat masa iddah raj’ah.[9]
Tidak menggunakan lafadz talak.
Menggunakan lafadz talak[10]
Tidak mengurangi jumlah talak.
Mengurangi jumlah talak [11]
Fasakh hanya terjadi pada nikah fasid, perpisahan pun dapat terjadi tanpa harus mengulangi fasakh.
Talak terjadi pada nikah shahih, dan setelah terjadi tiga kali sang suami haram atas istrinya[12]

D.                     Masyru’iyyah Tafriq Nikah
1.                       Masyru’iyyah tafriq nikah dari Al-Qur’an:
Allah SWT bersabda:
(( وَإِنْ يَتَفَرَّقَا يُغْنِ اللهُ كُلاًّ مِنْ سَعَتِهِ وَ كَانَ اللهُ وَاسِعًا حَكِيْمًا ))
“Dan jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberikan kecukupan kepada masing-masing dari karunia-Nya, dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisa’: 130)

2.                       Masyru’iyyah tafriq nikah dari As-Sunnah
لا ضرر ولا ضرار
Tidak ada kemadharatan dan tidak boleh saling menimbulkan kemadharatan.” (HR. Baihaqi)[13]
Hadits di atas menunjukkan bahwa seseorang tidak boleh menimbulkan kemadharatan kepada saudaranya antara satu sama lain, diantara kemadharatan yang paling tinggi ialah tidak terpenuhinya hak-hak suami dan istri.[14]
E.                      Macam-Macam Tafriq Nikah
Pada asalnya, perpisahan antara suami istri terjadi karena pilihan dan kehendak suami melalui cara talak. Namun ada beberapa kondisi yang menjadikan tafriq nikah harus diajukan kepada hakim, dan hakim berhak untuk memisahkan hubungan suami dan istri tersebut.[15] Diantara tafriq yang dilaksanakan melalui perantara hakim ialah:
a.                        Tafriq nikah karena tidak ada nafkah atau kesulitan dalam memberi nafkah.[16]
b.                       Tafriq akibat cacat.[17]
c.                        Tafriq akibat kepergian suami atau suami hilang.[18]
d.                       Tafriq akibat suami dipenjara.[19]
e.                        Tafriq akibat ilaa’.[20]
Berbeda halnya dengan talak, tafriq nikah merupakan hak suami dan istri, setiap pasangan boleh melakukakannya. Dalam proses menuntut pemisahan hubungan pernikahan ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi: mengajukan perkara kepada hakim, keadaan suami dan istri mukallaf, pihak istri keberatan akan kondisi suami yang tidak berada di sisi istri serta tidak diketahui keadaannya, apakah hidup atau sudah meninggal, atau karena kemurtadannya.[21]
F.                      Hakim dan Syarat-Syaratnya
Secara etimologi al-Qadha yaitu menghukumi. Adapun secara terminologi lafadz tersebut tidak didapati dalam literatur fikih. Adapun yang banyak tersebar, para ulama mendefinisikannya dengan perpisahan yang membutuhkan campur tangan atau andil seorang hakim. Sedangkan tafriq adalah terurainya ikatan pernikahan antara suami istri dengan jalan hakim untuk menegakkan sebab terurainya ikatan tersebut.
Menurut Hanafiyah Qadhi secara istilah berarti memutuskan perkara dan melerai pertikaian melalui cara khusus. Adapun Hanabilah mengartikannya dengan menjelaskan hukum syar’i dan melaziminya serta memutuskan pertikaian.[22]
Adapun syarat-syarat seseorang menjadi hakim, para imam madzhab sepakat bahwa seorang hakim harus memenuhi syarat-syarat berikut: berakal, balig, merdeka, muslim, mendengar, melihat, mampu berbicara.[23] Adapun madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali memasukkan ‘adalah sebagai syarat yang harus dipenuhi seorang hakim. Oleh karena itu, kesaksian seorang yang fasik tidak diterima, sebab ucapan mereka tidak bisa dipercaya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
يَاآيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقُ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوْا... (6)
“Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya...” (QS. Al-Hujuraat: 6)
Sedangkan dalam madzhab Hanafi, seorang yang fasik boleh menjadi hakim. Jika seorang imam menunjuknya sebagai hakim, maka keputusannya dapat diterima. Namun, akan lebih baik jika seorang yang fasik tidak dipilih menjadi hakim.
G.                     Devinisi Mafqud
Secara bahasa hilang berasal dari akar kata faqada-yafqadu-faqdan- wa fiqdan-faqiidan yang artinya kehilangan.[24] Sedangkan secara istilah para fuqaha tidak memberikan batasan pengertian mafqud. Akan tetapi setiap mereka memiliki pengertian yang berbeda-beda.[25]
a)                       Menurut Madzhab Hanafiyah
Dalam kitab ‘Fath Al-Qadir’ disebutkan bahwa mafqud ialah hilangnya seseorang hingga tidak diketahui apakah ia masih dalam keadaan hidup atau mati. Sedangkan di dalam kitab al-Mabsuth, Imam as-Sharkhosi mendefinisikan mafqud dengan orang yang awal kepergiannya dalam kondisi hidup namun kemudian terputus kabarnya.[26]
b)                       Menurut Madzhab Malikiyah
Terputusnya kabar yang memungkinkan untuk diketahui negerinya, ini sebagaimana juga pendapat Ibnu Arafa.[27]
c)                       Manurut Madzhab Syafi’iyah
Mafqud adalah seseorang ghoib yang tidak ada kabarnya.[28]
d)                      Menurut Madzhab Hanbali
Mafqud adalah barangsiapa yang terputus kabarnya dan tidak diketahui apakah dalam kondisi hidup atau meninggal.[29]
H.                     Batasan Seorang Mafqud Dihukumi Mati.
Sebagaimana tersebut diatas bahwa seorang yang hilang atau mafqud adalah hilangnya seseorang hingga tidak diketahui apakah ia masih dalam keadaan hidup atau mati. Namun, mengenai batasan seorang mafqud dihukumi mati terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama. Diantara pendapat tersebut ialah sebagai berikut:
a)                       Hanafiyah
Menurut pendapat madzhab Hanafiyah secara dzohir bahwasanya seorang mafqud dihukumi mati ketika tidak ada seorang pun yang seumuran dengannya yang masih hidup. Jika beberapa orang seumurannya banyak yang telah mati maka ia pun dihukumi mati.[30]
Namun dalam hal ini ada beberapa riwayat yang berbeda pendapat. Menurut Imam Abu Hanifah, seseorang yang umurnya telah mencapai 120 tahun dari hari kelahirannya maka ia dihukumi mati. Sedangkan menurut Abu Yusuf seorang mafqud dihukumi mati ketika  telah mencapai 100 tahun dari hari kelahirannya, karena secara dzahir pada zaman ini sangat sedikit seseorang yang hidup dengan umur 100 tahun.[31]
b)                       Malikiyah
Imam Malik membedakan waktu dihukuminya seorang yang mafqud dengan mati. Adapun perbedaan pendapat tersebut ialah sebagai berikut:
1.                       Perihal hukum mafqud di negeri musuh, menurut madzhab Malikiyah hal ini sama seperti hukum orang yang ditawan, dalam arti istrinya tidak  boleh dinikahi dan harta bendanya tidak boleh dibagi, kecuali jika diyakini ia telah mati.
2.                       Perihal mafqud dalam perang antar saudara sesama kaum muslimin, menurut Imam Malik, ia disamakan dengan yang mati terbunuh, sehingga tidak perlu ditunggu kepastiannya. Tetapi menurut pendapat lainnya, ia harus ditunggu. Soal sampai kapan, adalah tergantung pada dekat atau jauhnya tempat terjadinya peperangan. Menurut Imam Malik paling lama ditunggu selama satu tahun.
3.                       Perihal mafqud dalam peperangan melawan kaum kafir, dalam madzhab Maliki ada empat pendapat. Pertama, hukumnya sama seperti hukum orang yang ditawan. Kedua, hukumnya sama seperti hukum orang yang dibunuh sesudah ditunggu selama kurun waktu satu tahun, kecuali jika ia berada di suatu tempat yang sudah jelas, maka hukumnya disamakan dengan hukum orang yang hilang dalam peperangan dan huru-hara yang melibatkan sesama antar kauj muslimin. Ketiga, hukumnya sama seperti hukum orang yang hilang di negeri kaum musyrikin. Keempat, hukumnya sama seperti hukum orang yang terbunuh terkait dengan istrinya, dan sama seperti hukum orang yang hilang di negeri kaum muslimin terkait dengan harta bendanya, yakni harus ditunggu, sebelum dibagi.[32]
c)                           Syafi’iyah
Pendapat madzhab Syafi’i tidak jauh berbeda dengan madzhab Hanafi, yaitu tidak membatasi waktu dihukuminya mati seoarang mafqud baik dalam perihal pembagian hartanya ataupun perihal istrinya. Menurut Syafi’iyah seorang mafqud dalam jangka waktu panjang, sampai tak ada seorang pun yang mengetahui apakah ia masih dalam keadaan hidup atau mati, sedang ia memiliki harta yang bisa dibagikan, maka hartanya tidak boleh dibagi sampai ada penjelasan yang jelas akan kematiannya. Adapun batas waktunya, ulama’ Syafi’i berbeda pendapat, ada yang mengatakan 70 tahun, 80 tahun, 90 tahun, 100 tahun, ada pula yang berpendapat 120 tahun. Menurut khatib Asy-Syarbini pendapat yang shahih adalah tidak terbatas.[33]
d)                      Hanabilah
Madzhab Hanabilah membagi hal ini menjadi dua bagian:
1.                       Seorang yang tidak diketahui kabarnya selamanya meski jelas keselamatannya:
Seperti contohnya seseorang yang ditawan, yang mana ia tau keadaanya namun tidak memungkinkan baginya untuk kembali ke keluarganya. Pun seorang pedagang yang mana ia terlalu sibuk dengan dagangannya hingga lupa untuk kembali kekeluarganya. Dalam hal ini ada dua riwayat:
a.                        Menunggu kedatangan mafqud selama 90 tahun penuh sejak kelahirannya, ada juga yang berpendapat menunggunya selama 70 tahun. Illah ini berhujjahkan hadits Nabi SAW:
أَعْمَارُ أُمَّتِي مَا بَيْنَ السِّتِّيْنَ إِلىَ السَّبْعِيْنَ
“Umur umatku kisaran 60 sampai 70 tahun.”
b.                       Tidak dibagi hartanya dan tidak boleh dinikahi istrinya sampai yakin bahwa seorang mafqud benar-benar telah meninggal, atau waktu hilangnya sangat lama hingga tidak mungkin baginya untuk bisa bertahan hidup dalam jangka waktu tersebut.
2.                       Seorang mafqud yang telah jelas kematiannya:
Seperti halnya seorang yang tenggelam saat berlayar yang mana ada sebagaian penumpangnya selamat dan sebagian lainnya mati, atau ada beberapa orang yang hilang.
Bisa juga dengan hilangnya seseorang di padang tandus yang memtikan seperti sebuah padang pasir di hijaz, jika seseorang mati dalam keadaan ini maka baginya untuk menunggu selama 40 tahun penuh sejak ia hilang, karena waktu tersebut adalah waktu kebiasaan para musafir dan pedagang kembali kekeluarganya, jika dalam waktu tersebut tidak ada kabar, maka ia dianggap hilang bahkan ia dapat dianggap mati.[34]
III.                  Tafriq Nikah Karena Suami Hilang (Mafqud) Melalui Perantara Hakim
Ketika seorang istri kehilangan suaminya dan ia tidak megetahui kabar serta keberadaannya, apakah ia berhak melaporkan keadaannya kepada hakim? Dalam hal ini para fuqoha’ berbeda pendapat:
Pendapat pertama: menurut madzhab Hanafi mafqud diibaratkan sebagaimana halnya orang hidup mengenai hak dirinya, akan tetapi dalam masalah mendapatkan hak ia dianggap sebagai orang yang mati. Maksudnya ialah, bahwa secara hukum ia masih terbebani hukum orang yang masih hidup, yakni harta warisannya tidak boleh dibagikan dan istrinya tetap menjadi pasangannya. Disisi lain ia juga terhukumi sebagaimana orang yang telah mati. Sebagai contoh, ketika ada keluarganya yang meninggal maka ia tidak medapatkan warisan.[35] Oleh karena itu maka seorang istri tidak berhak mengajukan tafriq antara ia dan suaminya kepada hakim. Hakim pun tidak harus menerima permintaan istri, karena mafqud menurut pendapat ini dihukumi mati ketika umurnya telah mencapai sembilan puluh tahun. Pendapat ini pun disepakati oleh madzhab Syafi’i.[36]
   Pendapat kedua: menurut madzhab Malikiyah dan Hanabilah seorang wanita boleh mengajukan tafriq nikah kepada hakim jika kepergian suaminya dapat mencelakakannya, namun jika kepergian suaminya tidak berpengaruh apapun baginya, begitu pula jika kepergian suaminya itu untuk berniaga atau menuntut ilmu maka tidak boleh bagi istri untuk mengajukan tafriq kepada hakim.[37]
Apabila mafqud datang ketika istri telah menikah, maka pernikahan mafqud masih sah sehingga keputusan selanjutnya diserahkan kepada mafqud. Mafqud memiliki hak untuk memilih antara istri dan mahar. Baik sebelum atau setelah istri berjimak dengan suami barunya. Ini sebagaimana pendapat zhahir Mazhab Imam Ahmad, Syeikh Utsaimin dan Ibnu Taimiyah.[38]
IV.                  PENUTUP
Kesimpulan
Batasan waktu dimana seorang istri boleh meminta cerai dan menikah dengan lelaki lain, jika suami pergi tanpa udzur syar’i adalah satu tahun atau lebih. Itupun, jika istri merasa dirugikan secara lahir maupun batin, dan suaminya telah terputus informasinya serta tidak diketahui nasibnya. Itu semua berlaku jika kepergian suami tersebut tanpa ada keperluan yang berarti.



[1] Muhammad Masnur Hamzah, Qamusika (Cairo, Kaafatul Huquuqun Mahfudz: 2012) hlm. 991
[2] Adnan Ali An-Najjar, At-Tafriq Al-Qadhi baina Az-Zaujaini (Gaza, Al-Jami’ah Al-Islamiyah Gaza: 2004) hlm. 18
[3] Muhammad Masnur Hamzah, Qamusika.... hlm. 993
[4] Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu terjemah, jilid 9 (Depok, Gema Insani: 2007) hlm. 443
[5] Al-Kassani Al-Hanafi, Bada’i Ash-Shana’i, (Lebanon, Daar Kutub Al-Ilmiyah: 1986) hlm. 336
[6] Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Waadillatuhu .... hlm. 442
[7] Ibid, ... hlm. 331
[8] Ibid
[9] Majid Taufiq Hamadah As-Samur, At-Tafriq Baina Az-Zaujaini Lii Ar-Riddah Au Ibaa’i Al-Islami, (Gaza, Al-Jami’ah Al-Islamiyah Gaza: 2010) hlm. 27
[10] Ibid
[11] Ibid
[12] Tp, Al-Farqu baina At-Talak Wa Al-Fasakh Wa Al-Khulu’, (Tk, tp, tt) hlm.3
[13] Tri Fathimah, Status Pernikahan Istri Akibat Suami Hilang Dan Implikasinya Terhadap Pernikahan Tersebur Ketika Suami Datang Perspektif Islam, (Sragen, tp: 2016) hlm. 27
[14] Majid Taufiq Hamad Samur, At-Tafriq baina Az-Zaujaini .... hlm. 10
[15] Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fiqh As-Sunnah,  jilid 3, (Mesir, Al-Maktabah At-Taufiqiyah: 2002) hlm. 396
[16] Yahya bin Asy-Syarafi An-Nawawi, Raudahoh At-Thalibin, jilid 6, (Lebanon, Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah: 2013) hlm. 484
[17] Wazaratu al-Auqaf wa Asy-Syuni al-Islamiyah, Mausu’ah al-Fiqhiyyah,  jilid. 32, (Kuwait, Dar Ash-Shofwah, tt) hlm. 109
[18] Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fiqh As-Sunnah..... hlm. 408
[19] As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, jilid. 2, (Kairo: Al-Fath Li Al-I’lam Al-Arobi, tt) hlm. 190
[20] Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Waadillatuhu... hlm. 463
[21] Tri Fathimah, Status Pernikahan Istri Akibat Suami.... hlm. 39
[22] DR. Ahmad Nurullah, Huquuqu Al-Qadhi fii Fiqhi Al-Islami, (tk,tp,tt) hlm. 8, Al-Kassani Al-Hanafi, Bada’i Ash-Shana’i, juz 7 ... hlm. 2
[23] Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Waadillatuhu... hlm105
[24] Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab- Indonesia Terlengkap, (Yogyakarta, Pustaka Progressif: 1997) hlm. 1066
[25] Yusuf ‘Atha’ Muhammad Halu, Ahkam Al-Mafqud Fii Asy-Syari’ah Al-Islamiyah, (Palestina, Jami’ah An-Najah Al-Wathaniyyah: 2003) hlm. 16
[26] Ibid
[27] Abdullah bin Muhammad al-Anshari ar-Rosha’, Syarhu Hudud Ibnu Arafah, (Lebanon, Dar Al-Gharb Al-Islami: 1993) hlm. 314
[28] Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, al-Umm, jilid 8, (ttp.: Dar al-Wafa’, t.t) hlm. 657
[29] Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim al-‘Ashimi an-Najdi al-Hanbali, Hasyiyah ar-Raodhotu al-Murbi’, cet. pertama, (ttp.: t.p., t.t.), jilid. 6, hlm. 171

[30] Mukmin Ahmad Dziyab Syuwaidah, Atsaru Wasail Al-Ittishal Al-Haditsah ‘Ala Miirats Al-Mafqud Fie Al-Fiqhi Al-Islami, (Gaza, Al-Jami’ah Al-Islamiyah Gaza: 2006 ) hlm. 34, Al-Kassani Al-Hanafi, Bada’i Ash-Shana’i, juz 6 .... hlm. 196-197
[31] Ibid
[32] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid Terjemah, (Jakarta Timur, Akbar Media: 2013) cet. Pertama, hlm. 139
[33] Mukmin Ahmad Dziyab Syuwaidah, Atsaru Wasail Al-Ittishal Al-Haditsah ‘Ala Miirats Al-Mafqud Fie Al-Fiqhi Al-Islami...hlm. 39
[34] Ibid
[35] Al-Kassani Al-Hanafi, Bada’i Ash-Shana’i....hlm. 196
[36] Mahmud Abbas Shalih Abu Isa, At-Tafriq Baina Az-Zaujaini Bisababi Habsu Az-Zauji Fie Fiqh Al-Islami Wa Al-Ma’mulu Bihi Fie Al-Mahakim Asy-Syar’iyah Fie Adh-Dhaffah Al-Gharbiyyah, (Tk, Tp: 2005) hlm. 18
[37] Ibid
[38] Tri Fathimah, Status Pernikahan Istri Akibat Suami.... hlm. 143

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Contoh Review Skripsi

REVIEW SKRIPSI BAB I “ HUKUM MEMBACA SURAT YASIN PADA ORANG MENINGGAL KAJIAN HADITS MEMBACA SURAT YASIN PADA ORANG MENINGGAL” Oleh Ihda Al-Husnayain Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah “ Metodologi Penelitian” Diampu oleh: Ust. Junaidi Manik, M.PI Oleh: Uswatun Hasanah PROGRAM AD-DIROSAH AL-ISLAMIYAH AL-MA’HAD AL-‘ALY HIDAYATURRAHMAN SRAGEN 143 9 H/ 201 7 M A.     Judul Skripsi. HUKUM MEMBACA SURAT YASIN PADA ORANG MENINGGAL KAJIAN HADITS MEMBACA SURAT YASIN PADA ORANG MENINGGAL (Studi Analisis) disusun oleh: Ihda Al-Husnayain. Judul skripsi merupakan hal sangat penting, karena judul akan menggambarkan pembahasa yang akan dikaji oleh penulis, selain itu judul skripsi harus sesuai dengan pembahasan yang ditulis oleh penulis. Judul skripsi pun harus singkat, jelas serta menarik. Adapun judul skripsi di atas menurut reviewer sudah baik dan sesuai dengan metodologi penulisan skripsi yang benar. B

PERKEMBANGAN TAFSIR PADA MASA TABI’IN DAN PEMBUKUAN

       PERKEMBANGAN TAFSIR PADA MASA TABI’IN DAN PEMBUKUAN Makalah guna memenuhi tugas Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Ushul Tafsir Oleh : Uswatun Hasanah Dosen Pengampu: Siti Badriyah                                                                                        JURUSAN DIRASA T AL ISLAMIYYAH AL MA’HAD AL ALY HIDAYATURRAHMAN     SRAGEN    2015-2016 PERKEMBANGAN TAFSIR PADA MASA TABI’IN DAN PEMBUKUAN             Setelah masa khulafaur rosyidin berakhir, kepemerintahan dipimpin oleh generasi setelahnya yaitu generasi tabi’in, seiring bergantinya generasi perkembangan ilmu pun ikut berkembang begitu juga ilmu tafsir,penafsiran dari masa ke masa telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini dikarenakan penafsiran pada masa sahabat diterima baik oleh para ulama dari kaum Tabi’in di berbagai daerah kawasan Islam. Dan pada akhirnya mulai muncul kelompok-kelompok ahli tafsir di Makkah, Madinah, dan di daerah lainnya

Segala Hal yang Keluar dari Dua Jalan (Qubul dan Dubur)

Oleh : Wafdah Amnatul Jannah, dkk. Sebelum mengkaji tentang sesuatu yang keluar dari sabilain [1] lebih jauh, maka ada baiknya jika membahas tentang pengertian najis terlebih dahulu. Karena segala sesuatu yang keluar dari sabilain termasuk najis. Najis secara bahasa adalah sesuatu yang kotor. Sedangkan secara syar’i , najis adalah segala sesuatu yang haram untuk dikonsumsi secara mutlak walaupun   memungkinkan, yang hal tersebut bukan karena haram, kotor, atau berbahaya bagi badan dan akal. Dari definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa, segala sesuatu yang keluar dari dalam tubuh hewan [2] terbagi menjadi dua : 1.        Sesuatu yang tidak menyatu dan tidak mengalami perubahan di dalam tubuh, seperti : ludah, keringat, air mata, air liur [3] dan sejenisnya. Maka, hukumnya sesuai dengan hukum hewan tersebut. Jika berasal dari hewan yang najis, berarti hukumnya najis , dan sebaliknya. 2.        Sesuatu yang mengalami perubahan di dalam tubuh, seperti : air kencing,