I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pernikahan merupakan sebuah rihlah
imaniyah berbarakah, yang dimulai dengan akad dan berakhir di syurga
disertai dengan sakinah, mawaddah, dan rohmah. Menikah adalah jalan
untuk menuju kemuliaan. Menikah merupakan sunnah Nabi SAW., sebagai seorang muslim menikah bertujuan untuk
menyempurnakan setengah diennya. Menikah termasuk kebutuhan manusia, dengan
menikah seseorang dapat menjaga keturunan dan menjaga kehormatannya.
Untuk mencapai tujuan pernikahan,
setiap pasangan harus memahami hak dan kewajiban masin-masing, yang mana
keduanya telah ditetapkan dalam Islam. Karena jika ada hak dan kewajiban yang
terabaikan, akan menimbulkan berbagai masalah yang dapat menghadang terwujudnya
tujuan pernikahan. Salah satu contoh terabaikannya hak dan kewajiban adalah
dengan adanya kasus kepergian suami dengan kurun waktu yang lama hingga tidak
diketahui tempat dan keadaannya. Hal ini banyak mengandung tanda tanya
dikalangan para istri akan status pernikahannya sampai pada akhirnya para istri
melapor kepada hakim.
Berangkat dari sinilah penulis ingin
memaparkan tentang “Tafriq Nikah Melalui Perantara Hakim”.
B.
Rumusan masalah
1.
Bagaimana tafriq nikah melalui
hakim ketika suami hilang?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui tafriq nikah melalui
perantara hakim ketika suami hilang.
D.
Manfaat Penulisan
1.
Sebagai tambahan ilmu pengetahuan bagi
penulis pribadi dan masyarakat.
2.
Sebagai sumbangan pemikiran bagi MA
Hidyaturrahman
II.
Pembahasan
A.
Definisi Tafriq,
Faskh dan Thalaq
Tafriq secara bahasa merupakan bentuk
masdar dari kata فَرَّقَ
– يُفَرِّقُ - فَرْقًا yang berarti perpecahan
atau perpisahan.[1]
Ulama’ fiqih berbeda pendapat dalam mengartikan tafriq secara istilah,
namun meski demikian pengertiannya secara istilah tidak keluar dari makna
bahasa.[2]
Faskh secara etimologi yaitu
membatalkan, mencabut, memisahkan, serta menghilangkan.[3]
Sedangkan secara terminologi yaitu pembatalan akad dari semenjak asalnya atau
pencegahan bagi kelanjutannya, dan tidak dihitung dari jumlah talak.[4]
Thalaq yaitu
B.
Perbedaan Tafriq dan Talak.
Tafriq berbeda dengan talak. Talak merupakan
salah satu jenis tafriq dalam pernikahan. Sebagaimana Imam ‘Alamuddin
Al-Kasani menjelaskan bahwa terjadinya tafriq antara suami dan istri
sebagian terjadi dengan cara talak, sebagian yang lain terjadi dengan fasakh.[5]
Tafriq akibat keputusan pengadilan sangatlah
berbeda dengan talak. Talak terjadi dengan pilihan dan kehendak suami,
sedangkan tafriq akibat keputusan pengadilan adalah untuk membuat istri
bisa mengakhiri ikatan perkawinannya dengan suaminya secara paksa jika berbagai
cara yang bersifat pilihan berupa talak dan khulu’ tidak berhasil.[6]
C.
Perbedaan Fasakh dan Talak
Fasakh
|
Talak
|
Hak pihak suami istri
|
Hak mutlak suami[7]
|
Pembatalan akad dari asalnya atau
pencegahan bagi kelanjutannya, dan tidak dihitung dari jumlah talak.[8]
|
Memutuskan akad setelah talak bain
kubro, dan tidak memutus akad pada talak raj’i ketika kembali pada saat masa
iddah raj’ah.[9]
|
Tidak menggunakan
lafadz talak.
|
Menggunakan lafadz
talak[10]
|
Tidak mengurangi
jumlah talak.
|
Mengurangi jumlah
talak [11]
|
Fasakh hanya terjadi
pada nikah fasid, perpisahan pun dapat terjadi tanpa harus mengulangi fasakh.
|
Talak terjadi pada
nikah shahih, dan setelah terjadi tiga kali sang suami haram atas
istrinya[12]
|
D.
Masyru’iyyah Tafriq Nikah
1.
Masyru’iyyah tafriq nikah dari
Al-Qur’an:
Allah SWT bersabda:
((
وَإِنْ يَتَفَرَّقَا يُغْنِ اللهُ كُلاًّ مِنْ سَعَتِهِ وَ كَانَ اللهُ وَاسِعًا
حَكِيْمًا ))
“Dan jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberikan
kecukupan kepada masing-masing dari karunia-Nya, dan Allah Maha Luas
(karunia-Nya) Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisa’:
130)
2.
Masyru’iyyah tafriq nikah dari As-Sunnah
لا
ضرر ولا ضرار
“Tidak ada kemadharatan dan tidak boleh
saling menimbulkan kemadharatan.” (HR. Baihaqi)[13]
Hadits di atas menunjukkan bahwa
seseorang tidak boleh menimbulkan kemadharatan kepada saudaranya antara
satu sama lain, diantara kemadharatan yang paling tinggi ialah tidak
terpenuhinya hak-hak suami dan istri.[14]
E.
Macam-Macam Tafriq Nikah
Pada
asalnya, perpisahan antara suami istri terjadi karena pilihan dan kehendak
suami melalui cara talak. Namun ada beberapa kondisi yang menjadikan tafriq
nikah harus diajukan kepada hakim, dan hakim berhak untuk memisahkan hubungan
suami dan istri tersebut.[15] Diantara tafriq
yang dilaksanakan melalui perantara hakim
ialah:
Berbeda halnya dengan talak, tafriq
nikah merupakan hak suami dan istri, setiap pasangan boleh melakukakannya.
Dalam proses menuntut pemisahan hubungan pernikahan ada beberapa prasyarat yang
harus dipenuhi: mengajukan perkara kepada hakim, keadaan suami dan istri mukallaf,
pihak istri keberatan akan kondisi suami yang tidak berada di sisi istri
serta tidak diketahui keadaannya, apakah hidup atau sudah meninggal, atau
karena kemurtadannya.[21]
F.
Hakim dan Syarat-Syaratnya
Secara etimologi al-Qadha yaitu menghukumi. Adapun secara
terminologi lafadz tersebut tidak didapati dalam literatur fikih. Adapun yang
banyak tersebar, para ulama mendefinisikannya dengan perpisahan yang membutuhkan campur
tangan atau andil seorang hakim. Sedangkan tafriq adalah terurainya
ikatan pernikahan antara suami istri dengan jalan hakim untuk menegakkan sebab
terurainya ikatan tersebut.
Menurut Hanafiyah Qadhi secara istilah berarti
memutuskan perkara dan melerai pertikaian melalui cara khusus. Adapun Hanabilah
mengartikannya dengan menjelaskan hukum syar’i dan melaziminya serta memutuskan
pertikaian.[22]
Adapun
syarat-syarat seseorang menjadi hakim, para imam madzhab sepakat bahwa seorang
hakim harus memenuhi syarat-syarat berikut: berakal, balig, merdeka, muslim,
mendengar, melihat, mampu berbicara.[23]
Adapun madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali memasukkan ‘adalah sebagai
syarat yang harus dipenuhi seorang hakim. Oleh karena itu, kesaksian seorang
yang fasik tidak diterima, sebab ucapan mereka tidak bisa dipercaya.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
يَاآيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِنْ
جَاءَكُمْ فَاسِقُ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوْا... (6)
“Wahai
orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa
suatu berita, maka telitilah kebenarannya...” (QS. Al-Hujuraat: 6)
Sedangkan
dalam madzhab Hanafi, seorang yang fasik boleh menjadi hakim. Jika seorang imam
menunjuknya sebagai hakim, maka keputusannya dapat diterima. Namun, akan lebih
baik jika seorang yang fasik tidak dipilih menjadi hakim.
G.
Devinisi Mafqud
Secara bahasa hilang berasal dari akar
kata faqada-yafqadu-faqdan- wa fiqdan-faqiidan yang artinya kehilangan.[24]
Sedangkan secara istilah para fuqaha tidak
memberikan batasan pengertian mafqud. Akan tetapi setiap mereka memiliki
pengertian
yang berbeda-beda.[25]
a)
Menurut Madzhab Hanafiyah
Dalam kitab ‘Fath Al-Qadir’ disebutkan
bahwa mafqud ialah hilangnya seseorang hingga tidak diketahui apakah ia
masih dalam keadaan hidup atau mati.
Sedangkan di dalam kitab al-Mabsuth,
Imam as-Sharkhosi mendefinisikan mafqud dengan orang yang awal
kepergiannya dalam kondisi hidup namun kemudian terputus kabarnya.[26]
b)
Menurut Madzhab Malikiyah
Terputusnya kabar
yang memungkinkan untuk diketahui negerinya, ini sebagaimana juga pendapat Ibnu
Arafa.[27]
c)
Manurut Madzhab Syafi’iyah
d)
Menurut Madzhab Hanbali
Mafqud adalah barangsiapa yang terputus
kabarnya dan tidak diketahui apakah dalam kondisi hidup atau meninggal.[29]
H.
Batasan Seorang Mafqud Dihukumi Mati.
Sebagaimana tersebut diatas bahwa
seorang yang hilang atau mafqud adalah hilangnya seseorang hingga tidak
diketahui apakah ia masih dalam keadaan hidup atau mati. Namun, mengenai batasan seorang mafqud dihukumi mati
terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama. Diantara pendapat
tersebut ialah sebagai berikut:
a)
Hanafiyah
Menurut
pendapat madzhab Hanafiyah secara dzohir bahwasanya seorang mafqud dihukumi
mati ketika tidak ada seorang pun yang seumuran dengannya yang masih hidup.
Jika beberapa orang seumurannya banyak yang telah mati maka ia pun dihukumi
mati.[30]
Namun
dalam hal ini ada beberapa riwayat yang berbeda pendapat. Menurut Imam Abu
Hanifah, seseorang yang umurnya telah mencapai 120 tahun dari hari kelahirannya
maka ia dihukumi mati. Sedangkan menurut Abu Yusuf seorang mafqud dihukumi
mati ketika telah mencapai 100 tahun
dari hari kelahirannya, karena secara dzahir pada zaman ini sangat sedikit
seseorang yang hidup dengan umur 100 tahun.[31]
b)
Malikiyah
Imam
Malik membedakan waktu dihukuminya seorang yang mafqud dengan mati.
Adapun perbedaan pendapat tersebut ialah sebagai berikut:
1.
Perihal hukum mafqud di negeri
musuh, menurut madzhab Malikiyah hal ini sama seperti hukum orang yang ditawan,
dalam arti istrinya tidak boleh dinikahi
dan harta bendanya tidak boleh dibagi, kecuali jika diyakini ia telah mati.
2.
Perihal mafqud dalam perang
antar saudara sesama kaum muslimin, menurut Imam Malik, ia disamakan dengan
yang mati terbunuh, sehingga tidak perlu ditunggu kepastiannya. Tetapi menurut
pendapat lainnya, ia harus ditunggu. Soal sampai kapan, adalah tergantung pada
dekat atau jauhnya tempat terjadinya peperangan. Menurut Imam Malik paling lama
ditunggu selama satu tahun.
3.
Perihal mafqud dalam peperangan
melawan kaum kafir, dalam madzhab Maliki ada empat pendapat. Pertama, hukumnya
sama seperti hukum orang yang ditawan. Kedua, hukumnya sama seperti
hukum orang yang dibunuh sesudah ditunggu selama kurun waktu satu tahun,
kecuali jika ia berada di suatu tempat yang sudah jelas, maka hukumnya
disamakan dengan hukum orang yang hilang dalam peperangan dan huru-hara yang
melibatkan sesama antar kauj muslimin. Ketiga, hukumnya sama seperti
hukum orang yang hilang di negeri kaum musyrikin. Keempat, hukumnya sama
seperti hukum orang yang terbunuh terkait dengan istrinya, dan sama seperti
hukum orang yang hilang di negeri kaum muslimin terkait dengan harta bendanya,
yakni harus ditunggu, sebelum dibagi.[32]
c)
Syafi’iyah
Pendapat madzhab Syafi’i tidak jauh
berbeda dengan madzhab Hanafi, yaitu tidak membatasi waktu dihukuminya mati
seoarang mafqud baik dalam perihal pembagian hartanya ataupun perihal
istrinya. Menurut Syafi’iyah seorang mafqud dalam jangka waktu panjang,
sampai tak ada seorang pun yang mengetahui apakah ia masih dalam keadaan hidup
atau mati, sedang ia memiliki harta yang bisa dibagikan, maka hartanya tidak
boleh dibagi sampai ada penjelasan yang jelas akan kematiannya. Adapun batas
waktunya, ulama’ Syafi’i berbeda pendapat, ada yang mengatakan 70 tahun, 80
tahun, 90 tahun, 100 tahun, ada pula yang berpendapat 120 tahun. Menurut khatib
Asy-Syarbini pendapat yang shahih adalah tidak terbatas.[33]
d)
Hanabilah
Madzhab Hanabilah membagi hal ini
menjadi dua bagian:
1.
Seorang yang tidak diketahui kabarnya
selamanya meski jelas keselamatannya:
Seperti contohnya seseorang yang
ditawan, yang mana ia tau keadaanya namun tidak memungkinkan baginya untuk
kembali ke keluarganya. Pun seorang pedagang yang mana ia terlalu sibuk dengan
dagangannya hingga lupa untuk kembali kekeluarganya. Dalam hal ini ada dua
riwayat:
a.
Menunggu kedatangan mafqud
selama 90 tahun penuh sejak kelahirannya, ada juga yang berpendapat menunggunya
selama 70 tahun. Illah ini berhujjahkan hadits Nabi SAW:
أَعْمَارُ
أُمَّتِي مَا بَيْنَ السِّتِّيْنَ إِلىَ السَّبْعِيْنَ
“Umur umatku kisaran 60 sampai 70 tahun.”
b.
Tidak dibagi hartanya dan tidak boleh dinikahi istrinya
sampai yakin bahwa seorang mafqud benar-benar telah meninggal, atau
waktu hilangnya sangat lama hingga tidak mungkin baginya untuk bisa bertahan
hidup dalam jangka waktu tersebut.
2.
Seorang mafqud yang telah jelas kematiannya:
Seperti halnya seorang yang tenggelam saat berlayar yang
mana ada sebagaian penumpangnya selamat dan sebagian lainnya mati, atau ada
beberapa orang yang hilang.
Bisa juga dengan hilangnya seseorang di padang tandus yang
memtikan seperti sebuah padang pasir di hijaz, jika seseorang mati dalam
keadaan ini maka baginya untuk menunggu selama 40 tahun penuh sejak ia hilang,
karena waktu tersebut adalah waktu kebiasaan para musafir dan pedagang kembali
kekeluarganya, jika dalam waktu tersebut tidak ada kabar, maka ia dianggap
hilang bahkan ia dapat dianggap mati.[34]
III.
Tafriq Nikah Karena Suami Hilang (Mafqud) Melalui Perantara Hakim
Ketika
seorang istri kehilangan suaminya dan ia tidak megetahui kabar serta
keberadaannya, apakah ia berhak melaporkan keadaannya kepada hakim? Dalam hal
ini para fuqoha’ berbeda pendapat:
Pendapat pertama: menurut madzhab
Hanafi mafqud diibaratkan sebagaimana halnya orang hidup mengenai hak
dirinya, akan tetapi dalam masalah mendapatkan hak ia dianggap sebagai orang
yang mati. Maksudnya ialah, bahwa secara hukum ia masih terbebani hukum orang
yang masih hidup, yakni harta warisannya tidak boleh dibagikan dan istrinya
tetap menjadi pasangannya. Disisi lain ia juga terhukumi sebagaimana orang yang
telah mati. Sebagai contoh, ketika ada keluarganya yang meninggal maka ia tidak
medapatkan warisan.[35]
Oleh karena itu maka seorang istri tidak berhak mengajukan tafriq antara
ia dan suaminya kepada hakim. Hakim pun tidak harus menerima permintaan istri,
karena mafqud menurut pendapat ini dihukumi mati ketika umurnya telah
mencapai sembilan puluh tahun. Pendapat ini pun disepakati oleh madzhab
Syafi’i.[36]
Pendapat kedua: menurut madzhab Malikiyah dan
Hanabilah seorang wanita boleh mengajukan tafriq nikah kepada hakim jika
kepergian suaminya dapat mencelakakannya, namun jika kepergian suaminya tidak
berpengaruh apapun baginya, begitu pula jika kepergian suaminya itu untuk
berniaga atau menuntut ilmu maka tidak boleh bagi istri untuk mengajukan tafriq
kepada hakim.[37]
Apabila mafqud datang ketika
istri telah menikah, maka pernikahan mafqud masih sah sehingga keputusan
selanjutnya diserahkan kepada mafqud. Mafqud memiliki hak untuk memilih antara istri dan mahar. Baik
sebelum atau setelah istri berjimak dengan suami barunya. Ini sebagaimana
pendapat zhahir Mazhab Imam Ahmad, Syeikh Utsaimin dan Ibnu Taimiyah.[38]
IV.
PENUTUP
Kesimpulan
Batasan waktu dimana seorang istri
boleh meminta cerai dan menikah dengan lelaki lain, jika suami pergi tanpa
udzur syar’i adalah satu tahun atau lebih. Itupun, jika istri merasa dirugikan secara lahir maupun
batin, dan suaminya telah terputus informasinya serta tidak diketahui nasibnya.
Itu semua berlaku jika kepergian suami tersebut tanpa ada keperluan yang
berarti.
[1]
Muhammad Masnur
Hamzah, Qamusika (Cairo, Kaafatul Huquuqun Mahfudz: 2012) hlm. 991
[2]
Adnan Ali
An-Najjar, At-Tafriq Al-Qadhi baina Az-Zaujaini (Gaza, Al-Jami’ah
Al-Islamiyah Gaza: 2004) hlm. 18
[3]
Muhammad Masnur
Hamzah, Qamusika.... hlm. 993
[4] Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu
terjemah, jilid 9 (Depok, Gema Insani: 2007) hlm. 443
[5]
Al-Kassani
Al-Hanafi, Bada’i Ash-Shana’i, (Lebanon, Daar Kutub Al-Ilmiyah: 1986) hlm. 336
[8]
Ibid
[9]
Majid Taufiq Hamadah
As-Samur, At-Tafriq Baina Az-Zaujaini Lii Ar-Riddah Au Ibaa’i Al-Islami, (Gaza,
Al-Jami’ah Al-Islamiyah Gaza: 2010) hlm. 27
[10]
Ibid
[13]
Tri Fathimah, Status
Pernikahan Istri Akibat Suami Hilang Dan Implikasinya Terhadap Pernikahan
Tersebur Ketika Suami Datang Perspektif Islam, (Sragen, tp: 2016) hlm. 27
[14]
Majid Taufiq
Hamad Samur, At-Tafriq baina Az-Zaujaini .... hlm. 10
[15]
Abu Malik Kamal
bin As-Sayyid Salim, Shahih Fiqh As-Sunnah,
jilid 3, (Mesir, Al-Maktabah At-Taufiqiyah: 2002) hlm. 396
[16] Yahya bin Asy-Syarafi
An-Nawawi, Raudahoh At-Thalibin, jilid 6, (Lebanon, Dar Al-Kotob
Al-Ilmiyah: 2013) hlm. 484
[17]
Wazaratu al-Auqaf wa
Asy-Syuni al-Islamiyah, Mausu’ah al-Fiqhiyyah,
jilid. 32, (Kuwait, Dar Ash-Shofwah, tt) hlm.
109
[18]
Abu Malik Kamal
bin As-Sayyid Salim, Shahih Fiqh As-Sunnah..... hlm. 408
[20]
Dr. Wahbah
Az-Zuhaili, Fiqih Islam Waadillatuhu... hlm. 463
[21]
Tri Fathimah, Status
Pernikahan Istri Akibat Suami.... hlm. 39
[22] DR. Ahmad Nurullah, Huquuqu Al-Qadhi fii Fiqhi
Al-Islami, (tk,tp,tt) hlm. 8, Al-Kassani Al-Hanafi, Bada’i Ash-Shana’i, juz
7 ... hlm. 2
[23]
Dr. Wahbah
Az-Zuhaili, Fiqih Islam Waadillatuhu... hlm105
[24] Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-
Indonesia Terlengkap, (Yogyakarta, Pustaka Progressif: 1997)
hlm. 1066
[25]
Yusuf ‘Atha’
Muhammad Halu, Ahkam Al-Mafqud Fii Asy-Syari’ah Al-Islamiyah, (Palestina,
Jami’ah An-Najah Al-Wathaniyyah: 2003) hlm. 16
[27]
Abdullah bin
Muhammad al-Anshari ar-Rosha’, Syarhu Hudud Ibnu Arafah,
(Lebanon, Dar Al-Gharb Al-Islami:
1993) hlm. 314
[29] Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim
al-‘Ashimi an-Najdi al-Hanbali, Hasyiyah ar-Raodhotu al-Murbi’, cet.
pertama, (ttp.: t.p., t.t.), jilid. 6, hlm. 171
[30] Mukmin Ahmad Dziyab Syuwaidah, Atsaru Wasail
Al-Ittishal Al-Haditsah ‘Ala Miirats Al-Mafqud Fie Al-Fiqhi Al-Islami, (Gaza,
Al-Jami’ah Al-Islamiyah Gaza: 2006 ) hlm. 34, Al-Kassani Al-Hanafi,
Bada’i Ash-Shana’i, juz 6 .... hlm. 196-197
[32]
Ibnu Rusyd, Bidayatul
Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid Terjemah, (Jakarta Timur, Akbar Media:
2013) cet. Pertama, hlm. 139
[33] Mukmin Ahmad Dziyab Syuwaidah, Atsaru Wasail
Al-Ittishal Al-Haditsah ‘Ala Miirats Al-Mafqud Fie Al-Fiqhi Al-Islami...hlm.
39
[34]
Ibid
[35]
Al-Kassani
Al-Hanafi, Bada’i Ash-Shana’i....hlm. 196
[36] Mahmud Abbas Shalih Abu Isa, At-Tafriq Baina
Az-Zaujaini Bisababi Habsu Az-Zauji Fie Fiqh Al-Islami Wa Al-Ma’mulu Bihi Fie
Al-Mahakim Asy-Syar’iyah Fie Adh-Dhaffah Al-Gharbiyyah, (Tk, Tp: 2005) hlm.
18
[37]
Ibid
[38]
Tri Fathimah, Status
Pernikahan Istri Akibat Suami.... hlm. 143
Komentar