Nikah
muyassar adalah pernikahan yang telah memenuhi semua syarat dan rukun nikah,yaitu
adanya mempelai pria, mempelai wanita, proses ijab dan kabul, dua saksi
laki-laki dan adanya mahar. Namun untuk sementara waktu mempelai pria belum
memberikan sebagian hak mempelai wanita, seperti hak tempat tinggal atau hak
nafkah. Setelah menikah biasanya berkomunikasi melalui telepon/HP. Terkadang mempelai
pria memberikan nafkah batin kepada istrinya.
Pernikahan
muyassar biasanya dilakukan antara seorang wanita dan pria yang masih
sama-sama kuliah, dan mempelai laki-laki belum memiliki pekerjaan tetap. Meski sudah
menikah, kedua mempelai tidak hidup serumah. Nafkah sehari-hari dan tempat
tinggal wanita sementara waktu ditanggung orang tuanya, sampai mempelai pria
lulus kuliah atau memiliki kemandirian ekonomi.
Bagaimana
hukum nikah muyassar? Dikalangan ulama’ kontemporer terdapat perbedaan
pendapat tentangnya.
Nikah Muyassar Sah dan Boleh
Sebagian
ulama’ kontemporer berpendapat nikah muyassar itu sah dan boleh, dengan
syarat mempelai wanita ridha, pada awal akad tidak ditentukan lamanya waktu “perpisahan”
kedua mempelai, dan tidak di niatkan talak.
Diantara
ulama’ tersebut adalah Syaikh Abdul Aziz bin Bazz, Abdul Aziz bin Abdulloh Alu
Syaikh, Yusuf Muhammad al-muthlaq, Abdulloh bin Abdurrahman al-jibrin, Abdul
Muhsin al-Ubaikan, Abdul Hamid Hamdi, Ibrahim bin Shalih al-khudhairi, dan Sa’ad
al-Unzi.
Argumentasi
mereka adalah:
Pernikahan
tersebut telah memenuhi semua syarat dan rukun nikah. Mempelai wanita boleh
melepaskan sebagian haknya, seperti tempat tinggal, nafkah, atau bermalam
bersamanya, dengan syarat atas dasar keridhaan dirinya dan bukan atas
permintaan atau paksaan dari mempelai pria.
Nikah
Muyassar Halal Tapi Makruh
Sebagian
ulama’ kontemporer berpendapat pada asalnya hukum nikah muyassar adalah
sah dan boleh. Namun mereka menyatakan bisa berubah menjadi makruh. Mereka memberikan
beberapa catatan. Di antara mereka adalah Syaikh Muhammad Sayyid Ath-Thanthawi,
Abdullah bin Mani’, Su’us As-Syuraim, Muhammad Raf’at Utsman, dan Yusuf
al-Qardhawi.
Argumen
mereka adalah:
Nikah
muyassar telah memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat nikah, sehingga
secara asal hukumnya sah dan halal.
Nikah
muyassar bukanlah pernikahan ideal yang bisa merealisasikan
tujuan-tujuan pernikahan sebagaimana yang ditetapkan oleh islam. Nikah muyassar
“hanya” merealisasikan salah satu tujuan nikah saja, yaitu terjaganya
pandangan, mata, telinga, hati, dan kemaluan dari hal-hal yang diharamkan. Padahaltujuan-tujuan
islam lebih luas dari hal itu.
Hanya
saja kondisi mikah muyassar adalh pernikahan yang diharuskan oleh
paksaan kondisi kehidupan dan kemampuan ekonomi.
Meskipun
halal dan sah, mempelai laki-laki tetap wajib memperhatikan problem-problem
rumah tangga setelah terjadinya pernikahan. Apabila tidak mendapatkan nafkah
yang cukup dari orang tua, mempelai wanita berhak meminta nafkah kepada
suaminya. Mempelai pria wajib memperhatikan pendidikan anak mereka, jika anak
mereka telah lahir.
Nikah
Muyassar Haram
Sebagian
ulama’ kontemporer menyatakan nikah muyassar adalah haram. Diantara mereka
adalah Syaikh Nashr Farid Washil, Abdul Aziz al-Musnid, Ajil Jasim an-Nasymi,
Muhammad az-Zuhaili, Umar Sulaiman Al-Asyqar, Ali Qurrah Daghi.
Argumentasi
mereka adalah:
Nikah
muyassar tidak merealisasikan tujuan utama pernikahan yaitu membina
keluarga yang stabil dan mendidik anak-anak. Nikah ini hanya menjadi sarana
komunikasi atau melampiaskan kebutuhan seksual semata.
Nikah
muyassar tidak merealisasikan sakinah (ketenangan jiwa), mawaddah (cinta
yang mendalam), dan rahmah (kasuh sayang) bagi mempelai wanita, saat ia
membutuhkan keberadaan suaminya di sampingnya.
Mempelai
wanita dihadapkan pada kemungkinan diceraikan saat ia meminta nafkah, tempat
tinggal atau hak lainnya kepada suaminya. Sebab, suaminya bisa jadi menolaknya
dengan alasan saat akad nikah telah ada kerelaan dari pihak wanita.
Kajian
Pendapat dan Tarjih
Dari
kajian masing-masing pendapat dan argumentasinya, Syaikh Fahd bin Abdullah dan
Ahmad bin Yusuf ad-Daryuwaisy menarik kesimpulan bahwa pendapat pertama adalah
pendapat yang paling kuat. Ahl ini karena beberapa alasan berikut:
Niah
muyassar adalah pernikahan yang telah memenuhi rukun-rukun dan
syarat-syarat pernikahan yang ditetapkan oleh syari’at maka ia pernikahan yang
sah sevara syar’i.
Nikah
muyassar tidak mengandung unsur penipuan, pemalsuan niat untuk mentalak,
penambahan ataupun pengurangan terhadap syarat-syarat sah pernikahan.
Mempelai
pria dan mempelai wanita tidaklah berdosa jika mereka rela tidak menerima
sebagian hak mereka dari pasangannya.
Nikah
ini merealisasikan salah satu tujuan utama pernikahan, yaitu menjaga pandangan
mata, telinga, dan hati dari zina dan perbuatan keji lainnya. Tidak diragukan
lagi bahwa bagi para pemuda dan pemudi, dorongan syahwat adalah salah satu
problem terbesar yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Belum lagi
kondisi pergaulan bebas yang sangat kuat mengajak mereka kepada perbuatan zina
dan sejenisnya.
Akad
nikah tidak mesti merealisasikan semua tujuan utama pernikahan. Jika sebagian
tujuan utama telah tercapai maka hal itu sudah mencukupi.
Hukum
sebuah perkara didasarkan kepada terpenuhinya syarat-syarat dan rukun-rukun
serta tiadanya pembatal-pembatal pada perkara yang bersangkutan. Bukan kepada
hikmah-hikmah dari perkara tersebut. Demikian pula keabsahan akad nikah.Wallahua’lam.
(majalah Hujjah, vol I, desember 2015)
Komentar