Saat ini, seni peran atau drama semakin
menjamur di kalangan masyarakat. Hal ini bisa dirasakan dengan merajalelanya
industri perfilman, merebaknya bioskop di berbagai tempat, dan mendominannya
jam tayang sinetron di stasiun-stasiun televisi. Lebih dari itu, drama bahkan
masuk ke sekolah-sekolah sebagai suatu kesenian yang perlu dibudidayakan, atau
salah satu metode penyampaian materi, atau hanya sebagai hiburan dalam
acara-acara tertentu.
Bukan hanya sekolah-sekolah awam, namun para
santri di pondok-pondok pesantren pun turut menikmati fenomena ini. Bagi para
santri yang dua puluh empat jam hidup dalam peraturan, berkutat dengan
buku-buku pelajaran, menjalani rutinitas yang itu-itu saja, drama
dianggap sebagai ajang hiburan yang sangat menarik. Drama seringkali dijadikan
alternatif dalam berbagai acara. Mulai dari pengembangan bahasa, pembelajaran
di kelas, atau sekedar selingan disela-sela suatu acara. Tema yang disajikan
pun beragam; jihadis, renungan, sejarah, kehidupan sehari-hari, atau lelucon.
Inilah yang miris. Meski latarnya adalah
cerita islami, namun agaknya para santri kurang memperhatikan dan mengkaji
ulang akan batasan-batasan syari’at seputar drama ini. Terbukti, banyak dari
para santri yang dengan bebasnya memerankan tokoh zionis, melakukan adegan-adegan
fasiq, atau berlagak sebagai perempuan (padahal ia laki-laki) dan sebaliknya,
serta adegan-adegan lain yang serupa.
Maka dalam makalah ini, penulis tidak akan
menjelaskan hal-hal seputar drama yang telah jelas keharamannya, namun penulis
ingin sedikit memaparkan beberapa hukum tentang drama yang masih menjadi
syubhat, khususnya bagi para santri.
Memerankan
tokoh orang kafir
Tanpa disadari, ini kerap kali terjadi.
Terlebih jika tema yang diambil adalah tema jihadis, yang disana harus ada yang
berperan sebagai muslimin dan kuffar. Dalam hal ini, jika dalam drama tersebut
terdapat adegan sujud kepada berhala, salib, atau sujud kepada pemimpinnya maka
seluruh ulama’ fuqoha’ sepakat akan keharamannya, baik itu serius atau sekedar
bercanda.[1]
Allah berfirman,
وَلَئِن سَأَلتَهُم لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلعَبُ قُل
أَبِٱللَّهِ وَءَايَٰتِهِۦ وَرَسُولِهِۦ كُنتُم تَستَهزِءُونَ لَا تَعتَذِرُواْ قَد كَفَرتُم بَعدَ إِيمَٰنِكُم
“Dan jika kamu
tanyakan kepada mereka, niscaya mereka akan menjawab, ‘Sesungguhnya kami hanya
bersenda gurau dan bermain-main saja.’ Katakanlah, ‘apakah kepada Allah,
ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok ?’ Tidak perlu minta maaf,
sungguh kamu telah kafir setelah beriman.”[2]
Ayat di atas menunjukkan, bahwa bercanda atau
serius, dengan perkataan maupun perbuatan, jika itu menyangkut penghinaan
kepada Allah, Al-Qur’an, dan Rasul, maka hukumnya sama, yaitu keluar dari Islam
(murtad) kecuali jika pelakunya bertaubat kepada Allah. Rasulullah bersabda,
من تشبه بقوم
فهو منهم
“Barangsiapa
yang bertasyabbuh kepada suatu kaum, maka ia bagian dari mereka.” (HR. Abu Dawud)[3]
As-Shan’aniy berkata, “Hadits di atas
menunjukkan bahwa siapa yang bertasyabbuh dengan ahlu fasiq, orang kafir, atau
ahlu bid’ah, dalam sesuatu yang merupakan khas mereka, entah pakaian, kendaraan
maupun sifat, maka ia adalah bagian dari mereka.”
Dalil-dalil di menunjukkan bahwa haram bagi
seorang muslim untuk berpura-pura sebagai orang kafir meski tidak diniatkan
untuk mendurhakai Allah.
Memerankan
tokoh fasiq
Seringkali di dalam drama dijumpai tokoh-tokoh
yang memerankan adegan fasiq, seperti minum khamr, mabuk, menyanyi, dan
sejenisnya. Mengenai hal-hal tersebut Allah berfirman,
وَلَا
تَكُونُواْ كَٱلَّذِينَ نَسُواْ ٱللَّهَ فَأَنسَىٰهُمۡ أَنفُسَهُمۡۚ أُوْلَٰٓئِكَ
هُمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ
“Dan janganlah
kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, sehingga Allah menjadikan
mereka lupa akan diri sendiri. Mereka itulah orang-orang fasiq.”[4]
Dalam ayat di atas jelas diterangkan, bahwa
Allah mensifati orang-orang yang lupa akan Allah sebagai orang fasiq yang tidak
selayaknya bagi seorang muslim untuk mengikuti mereka dalam keadaan apapun.
Barangsiapa yang melanggar, maka ia berhak mendapat balasan dari Allah.[5]
Dikutip dari Hasyiyah Ibnu ‘Abidin, beliau
berkata,
اذا شرب الماء و غيره من المباحات بلهو و طرب على هيئة الفسقة حرم
“Jika
seseorang meminum air atau hal-hal mubah yang lain dengan berlagak layaknya
ahlu fasiq (pemabuk) maka haram.”[6]
Dari pemaparan di atas, disimpulkan bahwa,
jika seseorang memerankan adegan-adegan itu dalam rangka mengajak manusia
melakukan kefasikan tersebut, atau sekedar memerankannya tanpa maksud apapun,
maka keduanya adalah haram yang tidak ada mashlahat di dalamnya. Namun, jika
seorang muslim memerankannya dan lalu menjelaskan mudhorot dari hal-hal fasiq
tersebut dalam rangka mendakwahi manusia agar tak terjerumus ke dalamnya, maka
hukumnya boleh, karena terdapat kemaslahatan di dalamnya.[7]
Laki-laki
berperan sebagai perempuan dan sebaliknya
Bagi komunitas yang memisahkan antar laki-laki
dan perempuan, tentu ini merupakan hal yang biasa terjadi. Batasan syari’at
yang mengharamkan ikhtilath diantisipasi dengan berperannya laki-laki sebagai
perempuan ataupun sebaliknya. Padahal jika dikaji lebih dalam, banyak sekali
hadits Rasul yang melaknat perbuatan ini. Rasulullah bersabda,
لعن رسول الله المتشبهين من الرجال بالنساء والمتشبهات من النساء بالرجال
“Rasulullah
melaknat seorang laki-laki yang berpakaian layaknya seorang wanita, dan seorang
wanita yang berpakaian layaknya seorang laki-laki.”(HR. Bukhori)[8]
ثلاثة لا ينظر الله عز و جل اليهم يوم القيامة : العاق الوالدين والمرأة المترجلة
و الديوث
“Tiga golongan yang Allah tidak akan memandang
mereka pada hari Kiamat; seorang yang durhaka kepada kedua orang tuanya,
seorang wanita yang menyerupai laki-laki, dan dayuts.”(HR. An-Nasa’i)[9]
Tiap manusia telah diciptakan oleh Allah
lengkap dengan ciri khusus yang dimiliki oleh masing-masingnya. Maka, tidak
pantaslah bagi manusia berbuat dan bersikap yang menyalahi fitrah tersebut.
Adapun dalih bahwa hal itu hanya dilakukan di
depan kalangannya, tidak bermaksud menyalahi fitrah, hanya di dalam drama, atau
karena terdapat kemaslahatan disana, tidak bisa begitu saja menghapus larangan
syari’at akan hal ini, sebab bagaimanapun kemudhorotannya pasti lebih besar
dari kemaslahatannya. Apalagi jika itu semua hanya demi membuat orang di
sekitarnya tertawa.
Berperan
sebagai orang cacat
Seperti yang telah diketahui, memerankan
keadaan orang lain dengan maksud menghina termasuk ghibah yang paling besar.
Imam An-Nawawi berkata, “Termasuk dari ghibah yang diharamkan adalah seseorang
meniru jalan orang lain yang pincang, atau orang lain yang mengangguk-anggukkan
kepalanya, dan hal-hal yang serupa dengan maksud menghina (menguliti
kekurangannya).”
Adapun memerankan adegan cacat dalam suatu
drama, maka terbagi menjadi dua:
1. Ia memerankannya dengan seizin orang yang cacat tersebut, dan bukan dengan
maksud menghina, maka itu boleh. Namun jika itu dimaksudkan untuk menghina
orang yang memiliki kecacatan yang sama, maka tidak boleh.
2. Ia memerankannya tanpa seizin orang yang cacat tersebut, maka terbagi
menjadi dua keadaan:
a. Ia memerankannya dengan maksud menghina kekurangan tersebut, maka itu
haram.
b. Ia memerankannya bukan dengan maksud menghina, namun hanya untuk
menggambarkan keadaan seseorang yang cacat, maka itu boleh.
Memerankan
adegan sholat
Jika dalam drama terdapat adegan seseorang
sedang sholat, maka tidak selayaknya ia memotong sholat tersebut, atau hanya
memerankan sebagian gerakan-gerakan sholat, karena hal tersebut dianggap
meremehkan sholat. Maka hendaknya ia memerankan sholat tersebut secara
keseluruhan.[10]
Kesimpulan
Dari pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa, drama adalah boleh, jika di dalamnya bebas dari unsur-unsur yang
bertentangan dengan syari’at Islam, meski itu hanyalah sebuah peran. Semoga
hal-hal di atas bisa menjadi perhatian agar lebih berhati-hati dalam memilah
dan memilih cerita yang akan disajikan jika ingin menampilkan suatu drama.
Demikian pembahasan seputar drama tersusun,
penulis memohon ampun kepada Allah atas segala kesalahan dan kekurangan.
Harapan penulis, semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi penulis pribadi dan
para santri khususnya, dan masyarakat sekalian pada umumnya.
Daftar Pustaka
Al-Qur’anul Karim
Al-Abadiy, Abu Thoyyib Muhammad Syamsul Haq Al-Azhim, ‘Aunul Ma’bud, (Kairo:
Dar Hadits, 2001)
Al-Asqolaniy, Ibnu Hajar, Fathul Bariy, (Kairo: Dar Hadits, 2004)
As-Shan’aniy, Muhammad bin Ismail Al-Amir, Subulus Salam, (Kairo:
Dar Aqidah, 1428 H)
As-Suyuthi, Jalaluddin, Sunan An-Nasa’iy, (Lebanon: Dar Fikr, 2012)
Musthofa, Muhammad bin Musa, Ahkamu Fann At-Tamtsil, (Riyadh:
Maktabah Ar-Rusyd, 2008)
Komentar