Setelah membaca doa istiftah yang berisi
permintaan agar kita dijauhkan, dibersihkan dan disucikan dari dosa-dosa, dan
membaca isti’adzah yang berisi permohonan perlindungan dari Allah agar
dijauhkan dari godaan setan, baka bacalah induk Al-Qur’an, tujuh ayat yang
diulang-ulang, dan surat teragung yang mengandung seluruh ilmu Al-Qur’an, yaitu
surat Al Fatihah.
Ketika membaca surat Al
Fatihah, sudah seyogiyanya kita membaca dengan pelan-pelan dan penuh
penghayatan. Karena pada tiap-tiap ayatnya, Allah memberikan jawaban yang
menentramkan. Ialah surat yang berisi separuh bagian untuk hamba dan separuh
bagian untuk Allah Ta’ala.
Didalam hadits qudsi Allah
Ta’ala berfirman, “Aku membagi shalat (Al Fatihah) antara aku dan hambaKU menjadi
dua bagian. Dan hambaku akan mendapat apa yang dia pinta. Jika ia mengucapkan, ‘Alhamdulillahi
Rabbil ‘alamin’, maka Allah Ta’ala berfirman, Hamidani ‘Abdi,
hambaKu telah memujiKu. Jika ia mengatakan, ‘Arrahmanir rahiim’, maka
Allah Ta’ala berfirman, ‘Atsna ‘alayya ‘abdi, hambaKu telah
menyanjungKu. Jika ia membaca, ‘Maliki yaumid diin’, Allah berfirman, ‘majjaddani
‘andi’ hambaKu telah pasrah kepadaKu. Jika ia membaca, ‘iyyaka na’budu
waiyyaka nasta’in,’, Allah berfirman, ini adalah bagian untukKu dan bagian
untuk hambaKu. Dan hambaKu akan mendapat apa yang ia pinta. Dan jika ia mengatakan,
‘ihdinas shirathal mustaqim, shirathalladziina an’amta ‘alaihim ghoiril
maghdzubi ‘alaihim waladh dhallin’, Allah berfirman, ini adalah bagian untukKu
dan bagian untuk hambaKu. Dan hambaKu akan mendapat apa yang ia pinta.
Sekali lagi, setiap kali
membaca ayat demi ayat surat Al Fatihah, berhentilah sejenak dan rasakanlah
kebahagiaan atas tiap jawaban yang Allah firmankan. Ketika –misalnya- membaca ‘Alhamdulillahi
Rabbil ‘alamin’, berhentilah sejenak dan rasakanlah nikmatnya sebuah
jawaban dari Allah Ta’ala, ‘hambaKu telah memujiKu’. Dan begitu pula ketika
membaca , ‘Arrahmanir rahiim ‘Maliki yaumid diin iyyaka na’budu
waiyyaka nasta’in ihdinas shirathal mustaqim, shirathalladziina an’amta ‘alaihim
ghoiril maghdzubi ‘alaihim waladh dhallin.’ Demikian yang dinasihatkan
Ibnul Qayyim dalam asrar ash-shalat-nya.
MENGHAYATI MAKNA TIAP
MAKNA AYATNYA
Ayat, Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin
mengandung makna pengakuan seorang hamba atas pujian yang sempurna kepada
Allah. Karena Allah adalah sumber segala kebajikan. Pujian ini bersifat kontiniu,
bukan pujian yang dibuat-buat apalagi dipaksakan.
Ayat, Arrahmanir rahiim menunjukkan
bahwa Allah Maha Pengasih dan Penyayang. Kasih dan Sayang-Nya meliputi semua
makhluk-Nya; binatang, jin, manusia. Kasih dan Sayang-Nya mengalahkan marah dan
murka-Nya. Penyebutan ayat ini setelah lafadz Rabbil ‘alamin pada ayat
sebelumnya dimaksudkan untuk memunculkan sikap bahwa Allah—sekalipun memiliki
kesombongan, kekuasaan, keperkasaan tetapi Allah juga memiliki rasa kasih dan
sayang untuk semua makhuk-Nya, dan juga manusia, baik kafir mauapun mukminnya. Rasa
kasih dan sayang Allah akan semakin tampak pada hari kiamat kelak. Sungguh, pada
hari itu Allah menunjukkan keadilan dan kebijaksanaan-Nya yang sempurna.
Ayat, ‘Maliki yaumid diin’
menegaskan adanya hari kebangkitan, dan Allah adalah Penguasa dan Raja pada
hari itu; hari dimana Allah memberikan balasan terhadap amal-amal hamba-Nya. Kebaikan
dibalas dengan kebaikan, keburukan diganjar keburukan. Sebuah balasan yang
setimpal.
Ayat, iyyaka na’budu
waiyyaka nasta’in, yang menggunakan dhamir khitab (kata ganti
kedua: hanya kepada-Mu) menunjukkan dialog kedekatan hamba dengan Rabbnya. Allah
tidak memiliki jarak untuk mengabulkan doa dan memberi pertolongan kepada
hamba-Nya. Pemilihan kata kami pada ayat ini juga sangat pas. Seolah si
hamba berkata, “Wahai Rabbi, aku tak lain adalah hamba-Mu yang miskin lagi
hina. Tak pantas bagiku menghadap seorang diri di hadapan cahaya kemuliaan-Mu. Untuk
itu aku memilih berbaris dan bersujud bersama orang-orang yang juga beribadah
kepada-Mu dan memohon pertolongan-Mu.
Ayat, ihdinas shirathal
mustaqim, shirathalladziina an’amta ‘alaihim ghoiril maghdzubi ‘alaihim waladh
dhallin adalah penegas bahwa hidayah itu ada di tangan Allah. Hati semua
manusia ada di jari-jemari-Nya, yang bisa Dia bolak-balik sekehendakNya. Pada ayat
ini kita meminta agar diberi petunjuk kepada jalan orang-orang yang diberi
nikmat, yaitu jalannya para Nabi, shiddiqin, syuhada’ dan sholihin, dan dijaga
dari sifat-sifat yang dimurkai dan tersesat, yaitu Yahudi dan Nasrani. Mereka dimurkai
dan tersesat karena berilmu tanpa beramal, dan beramal tanpa berlandaskan ilmu.
Sungguh, permohonan agar selamat dari keduanya minimal 17 kali dalam sehari
membuktikan betapa rawannya kita serupa dengan mereka.
Mari tak henti kita
menghayati Ummul Kitab yang hanya berisi tujuh ayat tetapi maknanya tak akan
pernah habis dikupas ini. Wallahu muwaffiq. (majalah Hujjah/12/vol.1)
Komentar