DAFTAR ISI
Daftar
isi
Halaman
Bab I : PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang……………………………………………………………....
2
1.2
Rumusan Masalah…………………………………………………………..
2
1.3
Tujuan Penulisan……………………………………………………………
3
BAB
II: PEMBAHASAN
2.1
Darah dan Nanah yang Dimaafkan………………..……………………….
3
2.2
Hukum Bangkai Hewan yang Tidak Memiliki Aliran Darah..……………. 6
BAB
III: PENUTUP
3.1.
Kesimpulan………………………………………………………………….
8
3.2.
Saran……………………………………………………………………....... 8
DAFTAR
PUSTAKA……………………………………………………………. 9
BAB
I
PENDAHULUAN
Alhamdulillah
segala pujian hanya milik Allah Yang Maha Esa, Yang Maha Terpuji. Hanya kepada
Allah Ta’ala kita menyembah dan hanya kepada-Nya
kita memohon pertolongan. Sholawat beserta salam semoga selalu tercurahkan
kepada Rasulullah Muhammadﷺ yang telah menyampaikan risalah Islam yang
mulia ini sehingga kita bisa menjalankan syari’at dari tuntunannya atas izin
Allah. Sholawat dan salam semoga tercurahkan juga kepada keluarga, sahabat dan
semua yang menetapi sunnahnya hingga akhir zaman. Semoga Allah meridhoi para
sahabat dan tabi’in yang masuk dalam jajaran mujtahid yang sholih. Barangsiapa
yang diberi petunjuk oleh Allah maka tak
ada seorang pun yang dapat menyesatkannya dan barangsiapa yang disesatkan Nya
maka tak ada seorang pun yang dapat
memberinya petunjuk.
1.1
Latar belakang
Ternyata masih banyak di kalangan
kaum muslimin yang belum memahami dan mengetahui tentang masalah suci atau
najisnya darah, nanah dan hewan hewan kecil seperti serangga. Banyak yang belum
tau, apakah nanah dan darah yang ada pada bisul dan jerawat dihukumi najis atau
tidak. Atau bagaimana hukum lalat yang mati dalam segelas susu?
Darah
menurut kesepakatan para ulama’ hukumnya najis, tapi ada darah yang dihukumi
tidak najis.Apa saja benda benda yang pada aslinya dihukumi najis menjadi tidak
najis? Mengapa bisa demikian?
1.2
Rumusan masalah
Berdasarkan
latar belakang tersebut perlu kiranya merumuskan masalah sebagai pijakan untuk
terfokusnya kajian makalah ini. Adapun rumusan masalah sebagai berikut:
a.
Berdasarkan sepakat dan ikhtilafnya ulama’, apa saja benda najis
yang dihukumi tidak najis?
b.
Apakah darah dengan kadar yang sedikit hukumnya najis?
c.
Apakah hukum bangkai hewan yang tidak memiliki aliran darah tidak
najis?
1.3
Tujuan Penulisan
a.
Mengetahui benda benda najis yang dihukumi tidak najis berdasarkan
sepakat dan ikhtilafnya ulama’.
b.
Memahami hukum darah dan nanah yang sedikit.
c.
Mengetahui hukum bangai hewan yang tidak memiliki aliran darah.
BAB
II
PEMBAHASAN
Dalam masalah najis, ulama’ fiqih
membagi najis menjadi dua golongan. Yakni yang disepakati kenajisannya dan yang
diperselisihkan. Diantara dua golongan diatas, benda benda yang dihukumi najis
dikelompokkan menjadi najis mutlak dan najis yang ma’fu (dimaafkan). Benda yang
dihumi najis mutlak maka hukumnya secara umum adalah najis. Sedangkan benda
najis yang ma’fu adalah benda benda najis yang dima’afkan kenajisannya
berdasarkan sebab tertentu. Diantara benda najis yang disepakati kenajisannya
oleh ulama’dan yang dihukumi najis mutlak lalu dima’afkan berdasarkan sebab
tertentu diantaranya adalah darah dan nanah. Sedangkan, najis yang diperselisihkan
hukum kenajisannya oleh para ulama’ diantaranya adalah bangkai hewan yang tidak
memiliki aliran darah.
2.1
Darah dan Nanah yang Dimaafkan.
A.
Madzhab Hambali
Ulama
madzhab hanafi berpendapat bahwa najis mugholadhoh (berat) maupun mukhofafah
(ringan) yang dimaafkan adalah jika
kadarnya sedikit .
Mereka
menentukan kadar sedikitnya adalah kurang dari satu dirham(3,17 gr) yaitu yang
beratnya sama dengan 20 qirot(untuk najis yang kering),tetapi untuk najis yang
cair tidak sampai segenggam telapak tangan . Tetapi menunaikan sholat dengan
najis yang sedikit meskipun termasuk najis yang dimaafkan tetap haram. Najis
mukhofafah yang terkena pakaian ,dianggap sedikit ketika tidak sampai
seperempat dari pakaian tersebut.
Darah
yang mengenai tubuh tukang sembelih ataupun pakaiannya adalah sama hukumnya
dengan air kencing yang sedikit.
B.
Madzhab Maliki
Najis yang dimaafkan menurut madzhab ini sebagaimana yang di
sebutkan Syeikh WahabahAz-Zuhaili adalah kadar yang sedikit dari darah dan
nanah binatang darat dan manusia, yaitu jika ukurannya sekadar satu dirham
al-bighali. Artinya sekedar satu bulatan hitam yang terdapat pada kaki depan
binatang bighal (hasil silang kuda dan keledai), ataupun kurang dari itu.
Ketetapan ini tetap berlaku meskipun darah atau yang semacamnya itu
keluar dari tubuh orang itu sendiri ataupun dari orang lain, dan baik darah
atau yang semacamnya itu keluar dari manusia ataupun binatang, meskipun dari
babi. Begitu juga sama saja baik tempat yang terkena darah itu pakaian ataupun
badan ataupun tempat lainnya.
Ketentuan madzhab ini adalah najis jenis apapun yang susah untuk
dihindari ketika shalat atau masuk mesjid itu dimaafkan. Tapi tidak pada yang
jatuhmakanan ataupun minuman, maka ia akan menyebabkan najis, sehingga makanan
dan minuman itu tidak boleh dimakan dan diminum.
Bekas
bisul sejak mulai mengalir juga dimaafkan, jika memang bisul itu banyak, baik
mengalir dengan sendirinya atau karena dipencet maka tetap dimaafkan. Jika
bisul hanya sebesar biji, maka air yang mengalir darinya adalah dimaafkan.
Kecuali jika dipencet tanpa ada keperluan tidak dimaafkan kecuali jika kadarnya
tidak melebihi satu dirham.
C.
Madzhab Syafi’i
Tidak ada najis yang dimaafkan kecuali najis yang tidak kasat mata
, seperti darah yang sedikit dan percikan air kencing yang sedikit. Dimaafkan
juga najis yang banyak dan sedikit yaitu darah jerawat atau bintik – bintik,
darah binatang yang darahnya mengalir, semuannya dimaafkan karena sulit menghindarinya.
Begitupula kadar najis yang sedikit juga dimaafkan, namun kadar sedikit ini
ditentukan berdasar kebiasaan, Imam Asy-Syafi’i dalam kitabnya Al-Umm
mengatakan standar sedikit yang dimaafkan adalah kadar yang menurut kebiasaan
sedikit. Dan pendapatnya dalam qaul qadim adalah yang tidak sampai satu telapak
tangan.
Adapun
darah anjing dan babi tidak dimaafkan , meskipun kadarnya sedikit karena
hukumnya najis mugholadoh.
Sisa darah dalam daging, urat-urat dan tulang hewan yang telah
disembelih, atau darah ikan atau darah yang tampak ketika memasak daging, maka
hal itu tidak mengapa. Dalilnya:
Aisyah r.a berkata: “Kami pernah makan daging, sedang padanya
masih terdapat darah yang menempel pada kuali.”
Dalam kitab Sahih Bukhari disebutkan: “Bahwa orang-orang muslim pada
permulaan datangnya Islam, mereka mengerjakan shalat dalam keadaan luka.
Seperti Umar bin Khaththab yang mengerjakan shalat, sedang darah lukanya
mengalir”.
Darah nyamuk, kutu kepala atau binatang kecil lainnya yang darahnya
tidak mengalir juga dihukumi ma’fu.
D.
Madzhab Hambali
Menurut madzhab
ini, kadar najis yang sedikit meskipun tidak terlihat oleh mata sepeti kotoran
yang melekat padalalat dan yang semisalnya tidak dimaafkan.
Firman
Allah subhaanahu wata’ala: “Dan bersihkanah pakaianmu”.
Dan
juga berdasarkan perkataan Ibnu Umar “Kami disuruh membasuh najis tujuh kali”.
Namun,
madzhab ini memaafkan jumlah yang sedikit dari darah, nanah (ash-shadid),
dan air luka, selagi tidak mengenai bahan cair atau makanan, karena sulit
menghindar dari benda-benda najis itu. Hukum ini adalah jika najis najis
tersebut berasal dari makhluk hidup yang suci semasa hidupnya, baik itu manusia
atau binatang yang dagingnya boleh dimakan seperti unta dan lembu, ataupun
tidak boleh dimakan dagingnya seperti kucing, selagi tidak keluar dari kemaluan
depan (qubul) ataupun kemaluan belakang (dubur). Oleh sebab itu, jika najis itu
keluar dari binatang yang dihukumi najis seperti anjing dan babi, keledai dan
bighal, ataupun ia keluar dari salah satu saluran (kemaluan depan ataupun
belakang) termasuk juga darah haid, nifas, dimaafkan juga bekas darah atau
semacamnya seperti nanah yang banyak jatuh ke atas suatu benda, kemudian
diusap. Karena, kadar yang tersisa sesudah ia diusap adalah sedikit.
Di antara benda-benda yang dianggap oleh ulama madzhab Hambali sebagai suci ialah darah yang masih ada dalam urat-urat daging binatang yang boleh dimakan dagingnya. Karena, darah-darah itu tidak mungkin dihindari, darah ikan, darah orang yang mati syahid yang masih berada di badannya meskipun jumlahnya banyak, darah kepinding, kutu, nyamuk, lalat, dan binatang lainnya yang darahnya tidak mengalir, hati dan limpa binatang yang boleh dimakan dagingnya “dihalalkan bagi kami dua jenis bangkai dan dua jenis darah".
Di antara benda-benda yang dianggap oleh ulama madzhab Hambali sebagai suci ialah darah yang masih ada dalam urat-urat daging binatang yang boleh dimakan dagingnya. Karena, darah-darah itu tidak mungkin dihindari, darah ikan, darah orang yang mati syahid yang masih berada di badannya meskipun jumlahnya banyak, darah kepinding, kutu, nyamuk, lalat, dan binatang lainnya yang darahnya tidak mengalir, hati dan limpa binatang yang boleh dimakan dagingnya “dihalalkan bagi kami dua jenis bangkai dan dua jenis darah".
2.2
Hukum Bangkai Hewan yang Tidak memiliki Aliran Darah
Seluruh ulama’ madzhab
bersepakat bahwa bangkai binatang air seperti ikan dan binatang laut yang lain
adalah bersih, karena Nabi SAW bersabda :
أحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَ دَمَانِ :
السَّمَك وَ الجَرَدَ وَ الكَبِدُ وَ الطِّحَالُ
“
dihalalkan untuk kita dua jenis bangkai dan dua jenis darah; ikan dan belalang,
hati dan limpa”. (HR. Ibnu Majah)
Pengertian bangkai menurut ulama’ madzhab Syafi’i dan Maliki ialah
binatang yang hilang nyawanya tanpa sembelihan yang sah menurut syari’at
seperti sembelihan orang majusi, orang yang sedang berihram, sembelihan dengan
menggunakan tulang, dan begitu pula binatang yang tidak halal dimakan jika
disembelih. Madzhab Maliki mengatakan bahwa semua binatang yang disembelih
dilehernya ataupun disembelih pada pangkal lehernya atau dengan cara
melukainya, maka hukumnya adalah bersih, asalkan binatng-binatang tersebut
adalah binatang tidak haram dimakan. Namum binatang yang tidak boleh
dimakanseperti keledai, bighaldan kuda, menurut pendapat mereka sembelihannya
adalah tidak memberi dampak apa pun, oleh sebab itu binatang tersebut dihukumi
najis. Adapun menurut ijma’ bangkai belalang dan ikan adalah suci.
Para fuqoha’ berselisih pendapat mengenai bangkai binatang yang
darahnya tidak mengalir, diantaranya sebagai berikut.
A.
Madzhab Hanafiyah
Ulama’ madzhab Hanafi
menyatakan bahwa kematian seekor binatang yang hidup didalam air, maka ia tidak
menyebabkan air itu menjadi najis seperti ikan, katak dan kepiting yang mati
didalam air. Tetapi, daging bangkaibinatang yang berdarah mengalir dan juga
kulitnya (sebelum disamak) adalah najis. Binatang apa saja yang darahnya tidak
mengalir, jika jatuh kedalam air, maka ia tidak menyebabkan air itu menjadi
najis seperti lalat, kalajengking, dan yang seumpamanya. Karena, terdapat
hadits yang berkaitan dngan masalah lalat,
“ jika terjatuh sekor
lalat kedalam minuman salah seorang diantara kamu, maka hendaklah ia
menenggelamkannya, kemudian membuangnya. Karena, sesungguhnya pada salah satu sayapnya
terdapat penyakit, dan pada sayap yang satu lagi terdapat penawar.” (HR.
Bukhori)
Oleh sebab itu, jelas bahwa
bangkai binatang air dan bangkai binatang yang darahnhya tidak mengalir adalah
suci menurut ulama’ madzhab Hanafi. Madzhab Maliki juga berpendapat sama dengan
madzhab Hanafi .
B.
Madzhab Syafi’i
Ulama’ madzhab syafi’I
mengatakan bahwa bangkai ikan, belalang, dan seumpamanya yang dari jenis
binatang laut adalah suci. Tetapi, bangkai binatang yang darahnya tidak
mengalir seperti lalat, kepinding,kumbang, kalajengking, lipas, dan semacamnya
dihukumi najis menurut pendapat ulma’ madzhab syafi’I.
Walaupun begitu, ulma’
madzhab syafi’I berkata bahwa bangkai ulat seperti bangkai ulat cuka atupun
bangkai ulat buah apel dihukumi najis. Tetapi, ia tidak membuat cuka dan buah
apel itu menjadi najis, karna amat susah untuk mnghindarkan dari ulat tersebut.
Malahan ulat tersbut boleh dimakan bersama cuka ataupun bersama buah apel
tersebut, sebab memisahkan diantara keduanya sulit.
C.
Madzhab Hambali
Ulama’ madzhab hanbali menyatakan
bahwa binatang yang darahnya tidak mengalir. Apabila berasal dari benda-benda
yang bersih, maka ia dihukumi bersih baik hidup maupun mati. Tetapi jika ia
berasal dari benda-benda yang najis seperti ulat kebun dan juga lipas, maka ia
dihukumi najis baik hidup maupun mati. Karena kelahirannya berasal dari benda
najis, maka ia juga dihukumi najis seperti anak anjing dan juga babi yang
dihukumi najis karena dilahirkan dari induk yang najis.
Wallahu a’lam.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat kita ambil bahwasannya hukum benda benda najis
tergantung pada jumlahnya. Apabila darah dan nanah yang jumlahnya sedikit
adalah ma’fu, yakni jika tidak dapat dihindari dan tidak kasat penglihatan
mata. Begitu pula hukum hewan yang tidak memiliki aliran darah, maka apabila
terjatuh dalam cairan tidak membuatnya najis selama tidak merubah air. Bangkai binatang air dan juga bangkai
binatang lainnya yang tidak mempunyai darah adalah bersih menurut pendapat
fuqoha’, kecuali ulama’ madzhab Syafi’iyang mengatakan bahwa binatang yang
darahnya tidak mengalir adalah najis berdasarkan firman Allah SWT,
“diharamkan bagimu
(memakan) bangkai….”[al-Maidah : 3]
3.2 Saran
Adapun saran
yang dapat disampaikan bahwasannya Allah menurunkan hukum untuk mengatur
manusia dan menghantarkannya kepada maslahat. Dan atas dasar maslahat pula
Allah memberikan rukhsoh (keringanan hukum) supaya manusia mampu mengamalkan
hukum hukumnya sesuai kadar kemampuannya. Oleh karena itu kita sebagai umat
manusia selayaknya mengamalkan hukum yang telah Allah tetapkan kepada manusia,
khususnya untuk berhati hati terhadap
najis yang telah ditetapkan oleh syari’at demikian pula supaya kita memahami
rukhsoh pada ketentuan najis.
DAFTAR PUSTAKA
Az-Zuhaili,Wahabah. (2010). Fiqih Islam Wa Adillatuh.
Jakarta: Gema Insani Darul Fikr. Jld.1
Abi Bakr, Taqiyuddin. (1971). Kifayatul Akhyar Fi HAlli Ghoyatil
Ikhtisor. Beirut: Daarul Fikr Al-Ilmiyah. Jld.1
Qudamah, Ibnu. (2007). Al-Mughni. Jakarta: Pustaka Azzam.
Jld.1
Isnawati.
(2014). Najis Yang Dimaafkan. [Online]. Tersedia: http://www.rumahfiqih.com/khazanah/x.php?id=2 [10 November 2015]
Komentar